Moacir Barbosa |
Sebuah gol membuat Moacir Barbosa, kiper Brasil paling cemerlang pada 50 tahun pertama abad 20, tercampak dari idola yang dipuja menjadi pemain paling terhina dalam sejarah sepakbola. Tak Hanya segala Prestasi dan Jasanya dilupakan, Barbosa bahkan diasingkan karena dipercaya membawa sial. Hampir seperti memedi, para ibu di brasil bahkan memakai nama Barbosa untuk menakut-nakuti anaknya. Kejayaan sepakbola brasil, hampir dapat dikatakan bertumpu di atas kebencian terhadapnya.
"30 tahun adalah hukuman penjara paling lama di Brasil. Tapi saya seperti dipenjara selama 50 tahun"
Kata-kata itu keluar dari seorang pria tua di hari ulang tahunnya yang ke 79. Dengan nada sedih, ia menyesali kesialan yang harus ditanggungnya selama 50 tahun. Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan menerima sanksi 'moral' dari rakyat Brasil. Setengah abad ia habiskan hidup dalam 'pengasingan'. Pria itu bernama Moacir Barbosa.
Saking malu, Barbosa bahkan tidak pernah ke luar rumah untuk bersosialisasi. Ketika pergi dari rumah, dia pun hanya menemui sesama mantan pemain Brasil pada Piala Dunia 1950. Itu terus dilakukan Barbosa hingga akhir hayatnya pada 7 April 2000.
Akhir dekade 1940-an merupakan masa keemasan Vasco Da Gama. Mereka sukses memenangkan tiga gelar Liga Brasil dan satu gelar Campeonato Sul-Americano de Campeões (sekarang Copa Libertadores). Moacir Barbosa adalah salah satu anggota generasi emas Vasco tersebut. Tubuhnya tidak terlalu tinggi (174cm), dan ia tidak pernah menggunakan sarung tangan. Dan atas prestasinya bersama Vasco tersebut, ia menjadi orang Afro-Brasil pertama yang menjadi andalan Timnas Brasil.
Tahun 1949 adalah masa keemasan Barbosa di tim nasional. Kemenangan 7-0 atas Paraguay di play-off membawa Brasil merengkuh gelar Copa America ketiganya. Ketika itu, sistem kompetisi Copa America adalah sistem liga di mana seluruh tim bertemu dan gelar juara ditentukan di klasemen. Kemenangan itu membuat optimisme rakyat Brasil dalam menyambut Piala Dunia 1950 membumbung tinggi. Selain karena faktor tuan rumah, mereka juga amat yakin dengan kualitas timnasnya.
Hingga akhirnya hari itupun tiba. 16 Juli 1950. Hari yang akan selalu diingat sebagai tragedi nasional. Hari ketika banjir air mata terjadi di stadion raksasa, Maracana. Air mata 200 ribu rakyat Brasil yang ingin menyaksikan timnya juara Piala Dunia untuk pertama kali di negeri sendiri. Tapi apa daya, Brasil gagal mempertahankan keunggulan. Setelah winger Albino Friaça membawa Brasil unggul di menit ke-47, bintang Peñarol, Juan Schiaffino menyamakan kedudukan di menit ke-66. Namun, tragedi baru terjadi 13 menit setelah gol Schiaffino.
Alcides Gigghia, winger mungil kelahiran Montevideo sukses melewati kawalan Bigode di sayap kanan. Sesaat kemudian, ia langsung mengirimkan tembakan langsung jarak jauh ke gawang Brasil yang dikawal Barbosa. Yang terjadi adalah Barbosa terdiam melihat bola meluncur ke gawang, karena ia berpikir Gigghia akan mengirim umpan silang, bukan tembakan langsung.
Hanya 11 menit sebelum pertandingan usai dan mimpi rakyat Brasil musnah. Mereka harus rela menyaksikan Uruguay berpesta di katedral sepak bola mereka. Dan dari duka mendalam rakyat Brasil tersebut, harus ada satu nama yang dikorbankan untuk menjadi pesakitan. Mereka memilih Barbosa. Penjaga gawang yang tidak bergerak saat gol kemenangan Uruguay meluncur masuk ke gawang Brasil. Penjaga gawang berkulit hitam itu harus menjadi kambing hitam.
Setelah kejadian itu, karir Barbosa tidak pernah kembali ke puncak sampai akhirnya ia pensiun sebagai pemain di usia 42 tahun. Kemudian, ia bekerja sebagai salah satu staf administrasi Stadion Maracana. Barbosa bekerja di sana selama 20 tahun. Setelah pensiun bekerja di Maracana, ia pindah kembali ke Sao Paulo.
Barbosa terus mengalami penolakan. Termasuk di tahun 1993, ketika Timnas Brasil sedang menjalani pelatnas untuk menghadapi Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, Barbosa berinisiatif untuk berkunjung. Akan tetapi, oleh pelatih kepala Mario Zagallo ia dilarang untuk menemui para pemain. Alasannya, agar tidak membawa nasib sial.
Pada tahun 1997, istri yang sudah dinikahinya sejak 1947, Clotilde, meninggal dunia karena kanker. Kematian Clotilde membuat Barbosa hidup sebatang kara karena ia tidak memiliki anak maupun sanak saudara. Di penghujung hidupnya ini, Vasco da Gama akhirnya mendengar cerita soal salah satu legendanya ini. Pihak manajemen Vasco akhirnya memutuskan untuk memberi santunan sebesar £700 setiap bulannya. Sampai ajal menjemputnya di tahun 2000, ia bertahan hidup dan menyewa flat dari santunan ini. Dan ketika ia meninggal, ia nyaris tidak memiliki harta sama sekali.
Sejarah memang tidak akan pernah bisa diubah. Apa yang diterima Barbosa dari rakyat Brasil rasanya bisa menyentil kita semua tentang bagaimana seharusnya kita memperlakukan orang yang berjasa kepada kita.
Ada dua pelajaran kontras yang bisa kita ambil dari sini, yakni tentang bagaimana rakyat Brasil memperlakukan Barbosa dan bagaimana Vasco da Gama memperlakukan pahlawannya di masa silam.***
“Lihat dia. Dialah yang membuat seluruh negeri Brasil menangis". Kesedihan terbesar Barbosa bukan ketika Gigghia mencetak gol, tetapi ketika ia mendengar kata-kata ini diucapkan oleh seorang wanita kepada anaknya 20 tahun setelah Piala Dunia 1950.
"Saya tidak bersalah, saat itu ada 11 pemain di lapangan" – Kata-kata ini diucapkan Moacir Barbosa suatu hari kepada temannya sambil menangis.
(dari berbagai sumber)
(dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment