Get this Widget

Friday, 26 July 2013

Sepakbola Indonesia Jangan Sampai Mati di Lumbung Sendiri

ANTARA/Ismar Patrizki

Indonesia adalah pasar sepakbola yang absurd. Kita sanggup memperkaya klub-klub Eropa jutaan dolar lewat penjualan jersey, sponsorship sampai match fee. Tapi pasar yang sama ini gagal menghidupi hajat hidup pemain dan klub Indonesia sendiri.

Pendeknya: mati di lumbung padi. Diego Mendieta kasih bukti kalau itu bukan peribahasa lebay untuk menggambarkan absurdnya pasar bola Indonesia. Mendieta mati beneran. Dan dikubur juga beneran. Itu faktual. Harfiah. Denotatif. Bukan pribahasa.

Maka terasa menyedihkan ketika Ketua Umum PSSI Djohar Arifin mengatakan: "Posisi kita masih di bawah, syukur-syukur mereka [klub-klub Eropa] mau datang ke sini." 

Terkait kedatangan klub-klub Eropa itu, pokok soalnya bukan bersyukur atau tidak bersyukur dan bermanfaat atau mudharat, tapi memang harus bermanfaat. Situasinya 'kan memang tidak mungkin melarang kedatangan klub-klub Eropa. Buat apa juga melarang-larang? 

Yang diperlukan adalah integrasi program kedatangan klub-klub Eropa itu dengan kepentingan memajukan sepakbola Indonesia itu sendiri. Dan itu sepenuhnya menjadi otoritas dan tanggungjawab federasi. Itu bukan wilayahnya promotor yang sudah sewajarnya mengincar laba. Apalagi wilayahnya para fans yang jauh lebih wajar lagi jika bersukacita, karena hendak bertemu dengan bintang pujaannya.

Di situlah letak persoalannya. Promotor sudah pasti mencari margin keuntungan – sekali lagi, tak ada yang salah dengan itu. Mestinya federasi tak perlu ikut-ikutan hal yang sama. Yang perlu dilakukan federasi adalah berusaha membangun proses negosiasi yang memungkinkan kita punya posisi tawar yang terus menguat. Posisi tawar ini penting guna mendesakkan agenda dan program federasi sendiri.

Sedihnya, posisi tawar kita lemah. Bukan karena tak punya posisi tawar. Posisi tawar kita lemah lebih karena federasi kita memang enggan untuk berdiri dengan gagah dalam membangun negosiasi dengan promotor dan klub-klub Eropa itu.

Jadi jangan heran jika dalam talkshow "Mata Najwa" kemarin, Djohar berujar: "Posisi kita masih di bawah, syukur-syukur mereka mau datang ke sini." 

Saat itu saya menampik pernyataan Djohar dengan bilang bahwa saya tidak ingin rendah diri untuk mengatakan bersyukur atas kedatangan mereka. 

Dan itulah kira-kira yang dikatakan Mourinho semalam dalam jumpa pers: "Timnas Anda harus bermain dengan passion yang tinggi. Anda harus bangga saat menggunakan seragam timnas. Jika Anda sudah memiliki itu maka Anda akan lebih kuat dari kemampuan Anda yang sebenarnya. Bahkan jika Anda tidak punya potensi yang bagus dan lawan anda lebih kuat, jika Anda bisa bermain dengan kebanggan maka Anda bisa lebih baik." [Baca selengkapnya di sini]

Di situ Mou bicara tentang kebanggaan terhadap diri sendiri, tentang bagaimana caranya memberi harga yang tinggi pada kemampuan diri sendiri. Apapun dan bagaimana pun kondisinya.

Ucapan Mou itu juga relevan dalam konteks negosiasi bisnis terkait kedatangan klub-klub Eropa itu. Indonesia adalah pasar yang besar. Kedatangan mereka bukanlah rezeki yang turun dari langit. Sampai batas tertentu, klub-klub Eropa itu yang beruntung dan semestinya mereka yang lebih patut bersyukur.

Mereka punya kepentingan dengan pasar bola Indonesia, dan semakin besar kepentingan mereka, semakin tinggi sebenarnya posisi tawar Indonesia. Federasi sangat mungkin membangun proses negosiasi guna meningkatkan posisi tawar karena klub-klub itu tak bisa bertanding di sini tanpa persetujuan federasi. Persoalannya mau atau tidak memulai proses negosiasi itu. Tapi, mau bagaimana lagi, jika pernyataan yang keluar dari pimpinan federasi adalah "sudah syukur mereka mau datang"?

Ketika Yugoslavia mengirim timnas yuniornya untuk bertanding di Indonesia pada awal 1950-an, PSSI kemudian meminta Tony Pogacnik yang melatih tim Yugoslavia saat itu untuk menukangi Indonesia. Negosiasi pun muncul. Lobi sampai dilakukan oleh Soekarno pada Joseph Broz Tito, koleganya yang kelak bahu membahu membangun Gerakan Asia Afrika. Dan berhasil.

Itu terjadi di era ideologi dan politik. Kini harus diterima bahwa eranya adalah industri dan bisnis. Maka negosiasi pun dengan logika industri dan bisnis macam itu. Dan itu dimungkinkan.

Perlu dicatat bahwa pintu negosiasi itu sangat dimungkinkan bukan semata karena klub-klub Eropa itu memang butuh dengan pasar Indonesia. Seperti yang dikatakan Arif Wicaksono, promotor dari NineSport yang mengurus kedatangan timnas Belanda dan Chelsea, klub-klub Eropa datang ke sini bukan untuk target jangka pendek seperti match-fee. Mereka datang justru untuk target jangka panjang, seperti targetsponsorship dari perusahaan-perusahaan Indonesia.



Menimbang kondisi itu, maka sebenarnya negosiasi itu tak harus berhenti hanya ketika mereka datang ke Indonesia. Proses negosiasi itu bisa berlangsung jangka panjang, karena target mereka pun jangka panjang.

Saya perlu menegaskan sebaiknya abaikan saja pernyataan Djohar yang mengatakan bahwa negosiasi itu sudah dilakukan dengan hasilnya adalah Chelsea mau mambuka akademi sepakbola. Lha, wong, semua akademi yang didirikan oleh klub-klub itu memungut bayaran yang umumnya mahal, kok. Akademi itu sihlagi-lagi barang jualan.

Lupakan juga deretan manfaat klise seperti "menambah jam terbang", "menimba pengalaman", "mengasah teknik", dan manfaat-manfaat sloganistik macam itu. 

Mohon maaf, saya tidak percaya bahwa kemampuan dan teknik bisa ditingkatkan hanya karena pertandingan sepukul dua pukul macam itu. Mudah untuk membantahnya. Silakan buka daftar pertandingan timnas sebelum Indonesia meraih prestasi tinggi [misalnya Juara SEA Games 1987 dan 1991], anda akan menemukan bahwa sangat jarang timnas berujicoba dengan tim-tim dengan level permainan 3 atau 4 di atas kita ketika mencapai puncak-puncak prestasi itu.

Dalam talkshow "Mata Najwa" itu, promotor NineSport dan Djohar memberi contoh bagaimana Korea Selatan era Guus Hiddink berhasil masuk semifinal 2002 karena berani berujicoba dengan negara-negara maju. Fakta itu digunakan untuk memperkuat argumen bahwa ujicoba dengan klub-klub Eropa memang ada gunanya untuk meningkatkan prestasi timnas.

Ini juga argumentasi yang ringkih. Pertama, Korea Selatan (dan negara-negara maju itu) saling berujicoba dengan jadwal yang terencana. Bukan hanya terencana jadwalnya, tapi juga jelas argumennya kenapa berujicoba dengan timnas X atau timnas Y. 

Ujicoba dengan klub-klub Eropa itu tidak bisa diperlakukan sama dengan kasus Korea Selatan di era Guus Hiddink. Sebab, timnas memang disodori klub-klub itu, bukan timnas yang memilih dengan jadwal dan argumen yang jelas. Ada promotor yang menawarkan ujicoba, ya diambil oleh timnas.

Tidak ada perencanaan yang matang, dan tidak ada argumentasi yang terkait dengan upaya merancang peak performance timnas menuju satu event, misalnya. Bagaimana mau merancang, posisi Jacksen Tiago sebagai pelatih timnas pun sebenarnya masih sukar dilacak kepastian statusnya, kok. Coach Jacksen, melalui saluran media social, kemarin menjawab pertanyaan seorang follower bahwa "statusku pelatih Persipura Bigman, sesuai kontrakku dan ngga ada status lain".

Jika pun kosa kata "menimba ilmu" atau "menambah pengalaman" itu masih bisa dipakai, itu sebaiknya bukan untuk pemain yang sudah jadi [asumsinya: pemain nasional adalah pemain yang sudah jadi]. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Ibarat bahan baku, pemain jadi serupa tanah liat yang sudah keras. Apalagi jika pemain yang dipasang untuk menghadapi tim-tim Eropa itu dari satu laga ke laga lainnya berbeda-beda.

Saya membayangkan kosa kata "menimba ilmu" itu justru untuk jajaran para pelatih, direktur teknik, fisioterapis, nutrisionis dan staf-staf yang karirnya di sepakbola masih panjang. 

Federasi bisa "memaksa" klub-klub Eropa itu untuk mengirim nutrisionis atau juru masak untuk mendampingi nurtisionis/juru masak klub-klub Eropa itu selama di Jakarta. Agar mereka tahu soal menu, kandungan gizi, dll. Atau, yang jauh lebih strategis, "memaksa" klub-klub Eropa menampung satu atau dua pelatih muda Indonesia untuk magang di tim reserve atau tim yunior di klub-klub Eropa itu. 

Saya kira, mengirimkan para pelatih muda (seperti Widodo, Aji Santoso, RD atau Imran Nahumarury) atau pemain-pemain senior yang hampir atau baru pensiun (Yeyen Tumena, Firman Utina, Bepe, Bima Sakti, Edu Ivakdalam, Chris Yarangga, Roni Wabia atau Sugiantoro) untuk magang di staf kepelatihan klub-klub Eropa barang 3 atau 4 bulan [walau di tim yunior atau tim reserve atau minimal di tim akademi sekali pun], akan jauh memberi manfaat jangka panjang ketimbang --misalnya-- mengirim pemain untuk magang seminggu dua minggu atau membuka akademi sepakbola yang ternyata siswanya dipungut bayaran yang mahal.

Ada banyak hal yang bisa dipelajari selama proses magang di sana. Dari mulai soal metode pemanasan dan pendinginan, bagaimana merancang persiapan mental dan fisik jelang pertandingan, bagaimana menyiapkan materi guna presentasi di rapat teknik dan taktik jelang pertandingan, sampai mempelajari perkembangan taktik di Eropa.

Indonesia mustahil terbarukan pemahaman taktiknya tanpa interaksi langsung dengan kebudayaan sepakbola yang berbeda. Tentu saja para pelatih dan pemain sepakbola Indonesia menonton Liga Inggris, Italia, Spanyol dan Jerman. Tapi itu lewat televisi, bukan melalui interaksi langsung nan intens di atas lapangan.

Masalahnya, Indonesia tak pernah bertanding kompetitif dengan Eropa. Hanya ujicoba sepukul dua pukul saja. Klub-klub kita juga jarang yang punya nafas panjang untuk bertahan di kompetisi-kompetisi regional. Karena hanya mampu bertahan di fase-fase awal, umumnya berjumpa dengan klub dari negara-negara yang prestasinya tidak terlalu jauh dengan klub-klub Indonesia.

Ini membuat secara taktik, sepakbola Indonesia selalu ketinggalan. Mayoritas klub dan pelatih hanya bertanding dengan klub-klub dan pelatih yang sama terus menerus, dari tahun ke tahun. Magang dan terlibat secara intens dengan dapur staf kepelatihan klub-klub Eropa itu memungkinkan terjadinya "benturan kebudayaan" yang bisa mendorong impuls-impuls kreatif. 

Dan ini bukan omong kosong tanpa argumentasi faktual yang teruji secara historis. Saya akan beri beberapa contoh.

Evolusi taktik yang terjadi di Eropa banyak lahir dari benturan taktik dengan kebudayaan sepakbola yang berbeda. Inggris mengubah iman mereka pada formasi WM ala Herbert Chapman menjadi formasi 4-4-2 setelah kalah memalukan dari Hongaria pada 1953. Hongaria saat itu sudah fasih dengan 4-2-4, jauh sebelum Brasil menerapkannya di Piala Dunia 1958. Alex Ferguson menemukan peran 'suffaco' [defensive-forward] saat bertemu AC Milan yang punya temuan taktik brilian lewat karakter deep-lying playmaker-nya Andrea Pirlo.

Di tahun 1980-an, semua tim di Indonesia umumnya menggunakan formasi 4-3-3, dan itu sudah dimulai sejak akhir 1970an. Lalu mulailah di awal 1990an muncul formasi 3-5-2. Siapa yang mengenalkan? Protagonis terpentingnya adalah Indra Tohir. Dari mana dia mendapatkannya? Saat menjadi pelatih fisik timnas U-16 dalam pemusatan latihan di Prancis selama beberapa bulan.

Ini baru bicara soal taktik. Dan itu hanyalah salah satu ilustrasi atau bisa saja diperlakukan sebagai salah satu solusi bagaimana sebaiknya federasi mengambil manfaat dari kedatangan klub-klub Eropa itu. Saya merasa perlu untuk menyodorkan tawaran solusi, karena mengkritik di Indonesia selalu dituntut untuk memberikan solusi. Kritik harus membangun karena kebebasan selalu dituntur untuk bertanggungjawab, sebab menginap 2 x 24 jam tamu harus lapor pengurus RT, and bla bla bla... 

Ada banyak aspek lain lain yang bisa kita "isap" dari klub-klub Eropa yang datang ke Jakarta. Tentu saja tidak ada jaminan bahwa negosiasi ini akan mendatangkan hasil yang positif. Jikapun ada manfaat positifnya, itu pastilah tidak akan terlihat setahun dua tahun. Tapi mau bagaimana lagi, prestasi sepakbola memang tidak akan lahir secara yang instan, bukan? 

Dengan mengingat ucapan Mourinho yang sudah saya kutip di atas, agaknya itu masih jauh dari harapan. Sulit berharap jika ketua umum PSSI-nya sendiri terlalu minderan. Sukar juga jika melihat pelatih timnas malah minta tandatangan pada pelatih lawan justru di depan wartawan saat jumpa pers. Jangan heran jika pemain timnasnya pun rebutan jersey lawan dan para fans juga bersorak saat timnas kebobolan.

Segeralah berbenah.

===


* Akun twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball
* Foto-foto: ANTARA(sport.detik.com)

No comments:

Post a Comment

Get this Widget